Pengesahan KUHAP Baru memunculkan polemik nasional setelah publik dan pengamat hukum menyoroti frasa “keadaan mendesak” yang muncul dalam beberapa pasal. Istilah ini dinilai terlalu luas, tidak memiliki definisi baku , serta berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Karena sifatnya yang multitafsir , klausul tersebut dianggap dapat menurunkan standar perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Sorotan Terhadap Frasa ‘Keadaan Mendesak’
Dinilai Terlalu Umum dan Subjektif
Kritik utama muncul karena tidak ada penjelasan konkret mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan mendesak. Tanpa batasan yang jelas, aparat dapat menafsirkannya secara subjektif saat melakukan tindakan paksa seperti penyitaan, penangkapan , pemblokiran, atau penyadapan.
Berpotensi Mengancam Hak Asasi Warga
Beberapa pakar hukum menilai frasa tersebut dapat membebaskan tindakan aparat dari mekanisme izin pengadilan. Hal ini dikhawatirkan berpotensi mengabaikan prinsip due process dan mengancam hak privasi serta hak milik warga.
Kritik terhadap Proses Pengesahan
Pengesahan KUHAP Baru dianggap berlangsung terlalu cepat. Publik menilai pembahasan dilakukan dengan minim ruang partisipasi, sehingga beberapa pasal penting tidak melalui dialog terbuka. Kondisi ini membuat kepercayaan terhadap produk hukum baru tersebut menurun.
Risiko dan Dampak yang Dikhawatirkan
Penyalahgunaan Kewenangan
Ketiadaan standar objektif untuk menilai suatu keadaan sebagai “mendesak” membuka peluang penggunaan alasan tersebut secara berlebihan oleh penyidik.
Menurunnya Kepercayaan Publik
Ketidakjelasan pasal membuat masyarakat meragukan komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak warga melalui aturan hukum yang transparan.
Potensi Gugatan Konstitusional
Karena banyaknya pasal yang dipersoalkan, sejumlah kelompok masyarakat mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi KUHAP Baru ke Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan Dari Artikel Di Atas
Kontroversi terkait frasa “keadaan mendesak” dalam KUHAP Baru menyoroti pentingnya regulasi yang jelas, tegas, dan tidak multitafsir. Publik meminta adanya batasan lebih rinci untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dan memastikan bahwa tindakan aparat tetap berada dalam kerangka hukum yang menghormati hak-hak warga negara. Polemik ini diperkirakan masih akan berlanjut hingga pemerintah atau lembaga terkait memberikan penjelasan atau revisi terhadap ketentuan yang dipersoalkan.